Advertisement
![]() |
Editor: SF
Sumber: dpr.go.id
Info720news.com—Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) kelak dipercaya bisa
mengatasi obesitas dan tumpang tindih regulasi. Mengingat saat ini ada 42.996
regulasi. Dengan rincian, peraturan pusat sebanyak 8.414 regulasi, peraturan
menteri 14.453 regulasi, peraturan lembaga pemerintah nonkementerian 4.164
regulasi, dan peraturan daerah 15.965 regulasi.
Badan Legislasi (Baleg)
DPR RI diketahui telah menyetujui revisi tersebut beberapa waktu lalu. Dalam
siaran pers yang diperoleh Parlementaria, Anggota Baleg DPR Heri Gunawan, Jumat
(22/4/2022), mengatakan, salah satu yang sudah dilakukan Baleg dalam mengatasi
obesitas dan tumpang tindih itu adalah dengan menggunakan metode omnibus law.
Baleg juga merencanakan RUU Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan (RUU RPPSK) dirumuskan dengan metoda omnibus law.
"Namun, metode
omnibus law belum memiliki landasan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bahwa metode omnibus law
dinyatakan tidak memiliki dasar hukum. Karena itu, perlu merevisi UU PPP untuk
mengakomodir metode omnibus law," jelas Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan.
Selain itu, revisi UU PPP juga perlu mengakomodasi revisi penulisan pasca
pengesahan UU oleh DPR dan Pemerintah, serta partisipasi masyarakat juga harus
diperkuat.
Kapoksi fraksi Partai
Gerindra di Baleg DPR RI itu melanjutkan, sebagai tindak lanjut Putusan MK itu,
Balegi DPR berinisiatif mengusulkan RUU Perubahan Kedua atas UU NO.12/2011
tentang PPP dalam Prolegnas Prioritas 2022. Dan pada Rapat Paripurna DPR Selasa
lalu (8/2/2022), RUU PPP sudah disahkan menjadi usul iniatif DPR. “Inisiatif
DPR disambut baik oleh Pemerintah yang dengan cepat mengirim Surat Presiden
beserta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sehingga Pembicaraan Tingkat I
dapat segera dilaksanakan,” ungkapnya.
Selain metode omnibus
law, beberapa substansi penting dalam RUU PPP, sambung Wakil Ketua F-Gerindra
DPR ini, adalah penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat (Pasal 96),
perbaikan kesalahan teknis penulisan oleh DPR (Pasal 72), dan perbaikan kesalahan
teknis penulisan oleh Pemerintah (Pasal 73), serta pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan berbasis elektronik (Pasal 97B).
“Selain itu, juga
disepakati mengenai penyempurnaan penjelasan terhadap asas keterbukaan pada
penjelasan Pasal 5 huruf g. Hal tersebut untuk mendukung penguatan partisipasi
masyarakat untuk mendapatkan informasi dan memberi masukan dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk Pemantauan dan
Peninjauan,” paparnya.
Legislatir dapil Jawa
Barat IV ini menambahkan, ada sejumlah catatan yang ia sampaikan saat
pengambilan keputusan RUU PPP pada pembicaraan tingkat I. Pertama, Putusan MK
yang memerintahkan dibentuk landasan hukum mengenai metode omnibus law, maka
perlu pengaturan yang lebih terinci terkait mekanisme dan pembatasan
penggunannya. Kedua, perlu perumusan soal partisipasi masyarakat sesuai harapan
Putusan MK.
Ketiga, soal pembentukan
peraturan perundang-undangan berbasis elektronik. Hal ini sebetulnya kemajuan
dalam teknik perundang-undangan. Namun, Hergun berpandangan, hendaknya ini
dilakukan sebagai langkah terakhir dan dalam keadaan darurat. Pasalnya, sistem
teknologi yang kian semakin canggih, kerap masih bisa dibobol oleh orang yang
tidak bertanggung jawab.