Advertisement
Aktivitas Belajar Tatap Muka Secara Terbatas.
Penulis : Agus Suratman, S.Pd
Guru MIS At-Taqwa Wawonduru
Info720 - Pada hari minggu,
25 Juli 2021, sekitar pukul 19. 30 WITA di mana masyarakat untuk wilayah dompu
dan sekitarnya melaksanakan sholat Isya secara berjamaah di masjid, saya
sendiri ikut menjadi makmum barisan kedua barisan paling kiri berdekatan dengan
anak-anak seumuran 11-12 tahun atau paling tidak berada di kelas 5 SD/MI, salah
satunya adalah murid saya di mana tempat saya mengajar di kampung, tepatnya di
desa wawonduru kecamatan woja kabupaten dompu.
Pada saat
pelaksanaan sholat, kebetulan waktu itu saya agak telat datang, walau tidak
sampai ketinggalan satu rokaat, sengaja saya berdiri di samping anak-anak, berdiri
berdekatan agar mereka tidak main main pada saat melaksanakan sholat. Namun
keberadaan saya tidak membuat mereka merasa segan, karena selama sholat
berlangsung mereka berbicara dengan suara kecil namun masih dapat terdengar
sampai 3 orang samping kiri dan kanan.
Namanya
anak-anak, belum ada taklif hukum yang membebani akal mereka karena belum cukup
balig, itu artinya mereka walaupun melakukan perbuatan yang di haramkan belum
di catat sebagai perbuatan yang di ganjar hukuman.
Apabila merujuk
pada definisi, aqil baliq berasal dari dua kata bahasa arab yaitu “aqala dan
Balaga” Aqala bermakna berakal, mengetahui dan sudah dapat memahami, sementara
Balaga bermakna sampai artinya, aqil bagigh itu adalah seorang manusia yang
sudah sampai pada standar umur tertentu untuk dibabankan hukum pada akalnya.
Sengaja penulis
ketengahkan lebih awal mengenai keberadaan anak-anak itu yang masih belum
memahami hukum dan tafklif hukum agar tidak muncul dalam benak kita untuk
menyalahkan mereka yang melakukan kesalahan tertentu yang akalnya belum sampai
pada akal orang dewasa pada umumnya.
Apabila di tarik
ke hukumnya, berbicara saat sholat dengan sengaja dapat membatalkan sholat dan
pelakukanya berdosa dan wajib sholat kembali dengan baik dan sempurna.
Sebenarnya yang
ingin penulis lirik yaitu, mengenai point obrolan mereka dalam sholat, bukan
mengenai status sah dan tidaknya sholat karena berbicara, taukah apa yang di
bicarakan oleh mereka sejak rokaat pertama hingga salam, tidak ada yang lain
kecuali bicara tentang Game, Game Online seperti PoP G dan Free Fare, tingkatan
atau level permainan mereka sudah tingkat atas. Penulis sendiri tidak memahami
tentang game game tersebut, saya hanya mendengar saja dari pembicaraan
orang-orang selain itu juga sejak awal menggunakan adroid hingga kini tidak
pernah terpikirkan untuk menginstal aplikasi game apapun namanya.
Ironis memang
kondisi anak anak saat ini, yang jadi obrolan sehari-hari hanyalah seputar
mengenai game hata itu dalam sholat, kalau yang di bahas itu mengenai iqro
berapa ngajinya atau nanti setelah sholat pergi ke guru ngaji mana, mungkin
masih dapat di terima secara akal pendidik, tetapi fakta berbicara lain.
Pembicaraan
mengenai seputar game oleh anak-anak saat sholat bukan kali pertama didapati,
akan tetapi hari-hari sebelumnya sudah mendengar obrolan asyik mereka seputar
game, pembicaraan yang semacam itu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang kelas
ekonomi tinggi, akan tetapi anak-anak yang kelas ekonomi orang tuanya rendah
sekalipun sama pembicaraannya.
Kejadian semacam
ini mengisyaratkan kita kepada sebuah tanda, ke asyikan ngegame yang menimpa
anak-anak ini akan menjadi BOM waktu di hari esok, di mana akal mereka tidak
lagi di isi dengan pelajaran-pelajaran bermanfaat dari sekolah dan guru ngaji
di kampung-kampung akan tetapi otaknya sudah di penuhi oleh pendidikan dari
android-android yang di fasilitasi oleh para orang tua di rumah yang di penuhi
dengan game online.
Keadaan yang
terjadi saat ini pernah di Narasikan secara Argumentatif oleh Neil Postman
dalam bukunyaThe And Of Education dimana anak-anak akan di perbudak oleh
technologi, di asuh oleh televisi dan pikirannya berorientasi materil ekonomi,
di mana peralihan ketuhanan mereka bukan lagi kepada apa yang di sembah oleh
bapak dan ibu mereka tetapi sudah menuhankan technologi.
Apabila di tarik
ke belakang, kasus yang menimpa anak-anak didik ini tidak bisa lepas dari
adanya pemberlakukan belajar daring (Dalam Jaringan) oleh pemerintah di masa
pandemi, belajar yang hanya berlangsung selama dua jam melalui aplikasi whatsap
maupun Zoom sementara 10 jamnya di gunakan untuk game online.
Ada keresahan
yang terbersit di pikiran orang tua dan para pendidik, dimana mereka tidak lagi
berada di bawah asuhan orang tua dan guru, akan tetapi mereka berada di bawah
asuhan Andoid yang di penuhi aplikasi game online. Setiap hari anak-anak minta
uang untuk beli paket dan bayar wifi dengan alasan belajar online ternyata
anak-anak sedang asyik duduk di pojok pojok rumah untuk bermain game sambil
keluar dari mulut mereka cacian dan umpatan kepada teman partner nya, ketika
temannya salah langkah dalam bermain.
Keresahan
hanyalah sebuah kata hati yang tidak bisa di manivestasikan dalam tindakan,
berat dan bahkan sulit untuk dilakukan oleh orang tua, karena sebagian anak
anak sudah kecanduan game online. Di larang anak-anak ngamuk, tidak di larang
anak-anak tidak terkendali.
Keadaan ini
membuat orang tua berada dalam kebimbangan, barang kali dengan pendekatan dari
hati ke hati adalah langkah efektif untuk mengembalikan fitrah anak anak ini
agar mereka bisa bermain secara normal dengan teman-temannya secara alamiah di
alam nyata. Sebab pendidikan di alam nyata akan memberikan pelajaran berharga
untuk anak-anak dalam pembentukan karakternya.