-->

Iklan

Minggu, 08 Agustus 2021, Agustus 08, 2021 WIB
Last Updated 2021-08-08T15:32:20Z
Opini

Masa Depan Pendidikan dan Tantangan Orang Tua Di Tengah Belajar Daring

Advertisement

  

Aktivitas Belajar Tatap Muka Secara Terbatas. 
                                                    

                                                    Penulis : Agus Suratman, S.Pd

                                                  Guru MIS At-Taqwa Wawonduru


Info720 - Pada hari minggu, 25 Juli 2021, sekitar pukul 19. 30 WITA di mana masyarakat untuk wilayah dompu dan sekitarnya melaksanakan sholat Isya secara berjamaah di masjid, saya sendiri ikut menjadi makmum barisan kedua barisan paling kiri berdekatan dengan anak-anak seumuran 11-12 tahun atau paling tidak berada di kelas 5 SD/MI, salah satunya adalah murid saya di mana tempat saya mengajar di kampung, tepatnya di desa wawonduru kecamatan woja kabupaten dompu.

 

Pada saat pelaksanaan sholat, kebetulan waktu itu saya agak telat datang, walau tidak sampai ketinggalan satu rokaat, sengaja saya berdiri di samping anak-anak, berdiri berdekatan agar mereka tidak main main pada saat melaksanakan sholat. Namun keberadaan saya tidak membuat mereka merasa segan, karena selama sholat berlangsung mereka berbicara dengan suara kecil namun masih dapat terdengar sampai 3 orang samping kiri dan kanan.

 

Namanya anak-anak, belum ada taklif hukum yang membebani akal mereka karena belum cukup balig, itu artinya mereka walaupun melakukan perbuatan yang di haramkan belum di catat sebagai perbuatan yang di ganjar hukuman.

 

Apabila merujuk pada definisi, aqil baliq berasal dari dua kata bahasa arab yaitu “aqala dan Balaga” Aqala bermakna berakal, mengetahui dan sudah dapat memahami, sementara Balaga bermakna sampai artinya, aqil bagigh itu adalah seorang manusia yang sudah sampai pada standar umur tertentu untuk dibabankan hukum pada akalnya.

 

Sengaja penulis ketengahkan lebih awal mengenai keberadaan anak-anak itu yang masih belum memahami hukum dan tafklif hukum agar tidak muncul dalam benak kita untuk menyalahkan mereka yang melakukan kesalahan tertentu yang akalnya belum sampai pada akal orang dewasa pada umumnya.

 

Apabila di tarik ke hukumnya, berbicara saat sholat dengan sengaja dapat membatalkan sholat dan pelakukanya berdosa dan wajib sholat kembali dengan baik dan sempurna.

 

Sebenarnya yang ingin penulis lirik yaitu, mengenai point obrolan mereka dalam sholat, bukan mengenai status sah dan tidaknya sholat karena berbicara, taukah apa yang di bicarakan oleh mereka sejak rokaat pertama hingga salam, tidak ada yang lain kecuali bicara tentang Game, Game Online seperti PoP G dan Free Fare, tingkatan atau level permainan mereka sudah tingkat atas. Penulis sendiri tidak memahami tentang game game tersebut, saya hanya mendengar saja dari pembicaraan orang-orang selain itu juga sejak awal menggunakan adroid hingga kini tidak pernah terpikirkan untuk menginstal aplikasi game apapun namanya.

 

Ironis memang kondisi anak anak saat ini, yang jadi obrolan sehari-hari hanyalah seputar mengenai game hata itu dalam sholat, kalau yang di bahas itu mengenai iqro berapa ngajinya atau nanti setelah sholat pergi ke guru ngaji mana, mungkin masih dapat di terima secara akal pendidik, tetapi fakta berbicara lain.

 

Pembicaraan mengenai seputar game oleh anak-anak saat sholat bukan kali pertama didapati, akan tetapi hari-hari sebelumnya sudah mendengar obrolan asyik mereka seputar game, pembicaraan yang semacam itu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang kelas ekonomi tinggi, akan tetapi anak-anak yang kelas ekonomi orang tuanya rendah sekalipun sama pembicaraannya.

 

Kejadian semacam ini mengisyaratkan kita kepada sebuah tanda, ke asyikan ngegame yang menimpa anak-anak ini akan menjadi BOM waktu di hari esok, di mana akal mereka tidak lagi di isi dengan pelajaran-pelajaran bermanfaat dari sekolah dan guru ngaji di kampung-kampung akan tetapi otaknya sudah di penuhi oleh pendidikan dari android-android yang di fasilitasi oleh para orang tua di rumah yang di penuhi dengan game online.

 

Keadaan yang terjadi saat ini pernah di Narasikan secara Argumentatif oleh Neil Postman dalam bukunyaThe And Of Education dimana anak-anak akan di perbudak oleh technologi, di asuh oleh televisi dan pikirannya berorientasi materil ekonomi, di mana peralihan ketuhanan mereka bukan lagi kepada apa yang di sembah oleh bapak dan ibu mereka tetapi sudah menuhankan technologi.

 

Apabila di tarik ke belakang, kasus yang menimpa anak-anak didik ini tidak bisa lepas dari adanya pemberlakukan belajar daring (Dalam Jaringan) oleh pemerintah di masa pandemi, belajar yang hanya berlangsung selama dua jam melalui aplikasi whatsap maupun Zoom sementara 10 jamnya di gunakan untuk game online.

 

Ada keresahan yang terbersit di pikiran orang tua dan para pendidik, dimana mereka tidak lagi berada di bawah asuhan orang tua dan guru, akan tetapi mereka berada di bawah asuhan Andoid yang di penuhi aplikasi game online. Setiap hari anak-anak minta uang untuk beli paket dan bayar wifi dengan alasan belajar online ternyata anak-anak sedang asyik duduk di pojok pojok rumah untuk bermain game sambil keluar dari mulut mereka cacian dan umpatan kepada teman partner nya, ketika temannya salah langkah dalam bermain.

 

Keresahan hanyalah sebuah kata hati yang tidak bisa di manivestasikan dalam tindakan, berat dan bahkan sulit untuk dilakukan oleh orang tua, karena sebagian anak anak sudah kecanduan game online. Di larang anak-anak ngamuk, tidak di larang anak-anak tidak terkendali.

 

Keadaan ini membuat orang tua berada dalam kebimbangan, barang kali dengan pendekatan dari hati ke hati adalah langkah efektif untuk mengembalikan fitrah anak anak ini agar mereka bisa bermain secara normal dengan teman-temannya secara alamiah di alam nyata. Sebab pendidikan di alam nyata akan memberikan pelajaran berharga untuk anak-anak dalam pembentukan karakternya.