Advertisement
Editor: SF
Sumber: jawapos.com
Info720news.com—Mimpi memiliki ibu
kota negara (IKN) baru tampaknya bakal segera terwujud. DPR RI baru saja
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi
undang-undang (Jawa Pos, 19 Januari 2022). Artinya, langkah awal dari
kesepakatan untuk memindahkan IKN telah disepakati dan konsensus politik itu
menjadi awal bagi pembangunan IKN yang diberi nama Nusantara.
Pihak eksekutif dan legislatif telah sepakat bahwa DKI
Jakarta tidak lagi memadai sebagai IKN. Kepadatan penduduk yang luar biasa,
kemacetan lalu lintas, dan ancaman banjir yang terjadi saat musim hujan adalah
alasan kuat bahwa DKI Jakarta sudah tidak mungkin dipertahankan sebagai IKN.
Sementara itu, desakan agar ketimpangan pembangunan
antarwilayah, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, juga menjadi alasan kuat
pemindahan IKN perlu segera dilakukan. Dengan memindah IKN ke Penajam Paser
Utara di Kalimantan Timur, diharapkan kesenjangan antarwilayah akan dapat
dikurangi. Sehingga terwujud pemerataan pembangunan sebagaimana dicita-citakan
dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Efek Samping
Presiden Joko Widodo sendiri telah menegaskan bahwa
tujuan pemindahan IKN bukan sekadar memindah fisik bangunan dan pusat aktivitas
layanan birokrasi. Namun, yang substansial adalah keinginan untuk mengubah
mindset kita, mengubah cara kerja kita, mengubah cara kerja birokrasi agar
lebih efisien dan lebih baik. Itu tentu bukan hal yang mudah. Sebab, perubahan
cara berpikir membutuhkan waktu dan bukan proses instan semudah membalik
telapak tangan.
Meski pemerintah masih disibukkan dengan upaya penanganan
Covid-19 yang membutuhkan biaya luar biasa besar, kebutuhan dana untuk
membiayai pembangunan IKN Nusantara dipastikan tidak akan terlalu menjadi
masalah. Dana pembangunan IKN Nusantara tidak hanya tergantung pada APBN, tapi
juga didukung peran swasta atau investor. Sepanjang sudah ada kepastian hukum,
besar kemungkinan para investor akan berlomba-lomba terlibat dalam pembangunan
infrastruktur dasar dan fasilitas publik lain di IKN Nusantara.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana memastikan agar
pembangunan IKN Nusantara tidak bergeser dari tujuan ideal yang telah
ditetapkan. Lebih dari sekadar memindah IKN, proses pembangunan IKN Nusantara
perlu dicermati dan diawasi agar tak menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan. Berikut sejumlah masalah yang perlu diantisipasi.
Pertama, bagaimana
memastikan agar pembangunan IKN Nusantara tidak melahirkan proses marginalisasi
atau peminggiran penduduk lokal. Selama ini, banyak bukti menunjukkan,
pembangunan dan industrialisasi yang terjadi di sebuah wilayah ternyata tidak
diikuti kesiapan penduduk lokal untuk dapat berpartisipasi dalam proses
pembangunan yang tengah berlangsung.
Dengan keterbatasan
latar belakang pendidikan dan kondisi struktural lain, sering kali penduduk
lokal hanya menjadi penonton. Mereka tidak bisa diakomodasi dalam proses
pembangunan yang ditransplantasikan seperti pembangunan IKN Nusantara.
Kedua, berkaitan
dengan kemungkinan terjadinya perpindahan kepemilikan aset produksi dan modal
sosial ekonomi masyarakat di daerah. Dalam proses pembangunan IKN Nusantara,
bisa dipastikan yang terjadi bukan hanya infiltrasi dan invasi pendatang dari
luar dalam jumlah besar.
Tetapi juga
kemungkinan terjadinya proses suksesi kepemilikan sumber daya lokal. Kehadiran
negara, swasta, dan para pendatang bisa dipastikan akan menawarkan daya tarik
tersendiri bagi penduduk lokal yang kondisinya pas-pasan untuk segera melepas
aset yang dimiliki. Pada titik hukum pasar yang berlaku, transaksi-transaksi
ekonomi yang merugikan kelangsungan hidup penduduk lokal sangat mungkin
terjadi.
Ketiga, berkaitan dengan kemungkinan terjadinya gegar
budaya akibat proses penetrasi budaya urban ke wilayah rural di sekitar IKN
Nusantara. Sebuah kota besar yang gigantik, tidak hanya dari segi ukuran,
tetapi juga gaya hidup, niscaya akan melahirkan dampak sosial yang signifikan
bagi cara berpikir dan aktivitas sosial masyarakat.
Pengalaman telah banyak menunjukkan bahwa kehadiran para
pendatang di sebuah wilayah tentu tidak hanya menimbulkan dampak ekonomi yang
luar biasa. Tetapi juga tawaran gaya hidup baru yang lebih permisif, pola
hubungan yang lebih kontraktual, dan sebagainya. Bukan tidak mungkin hal itu
berbeda dengan adat istiadat, norma, dan nilai masyarakat lokal.
Berkaca dari DKI Jakarta
Ke arah mana nanti IKN Nusantara bakal bergulir dan
digulirkan, pengalaman pembangunan DKI Jakarta adalah tempat berkaca yang
paling baik. Sebagai IKN, DKI Jakarta selama ini telah berkembang menjadi kota
yang ”makin angkuh” dan tidak sensitif pada masyarakatnya sendiri.
Henri Levebvre (1991) dalam kajiannya tentang spasial
menyatakan, dalam pembangunan di berbagai kota besar, sering kali yang
mendominasi praktik ruang adalah representasi ruang. Artinya, para perencana
pembangunan dan arsitek urban melakukan pembaruan perkotaan, yang
ujung-ujungnya mengakibatkan praktik ruang kaum miskin diubah secara radikal
oleh para perencana dan arsitek perkotaan. Mereka cenderung lebih pro terhadap
kepentingan kekuatan komersial.
Ruang mutlak atau ruang alamiah sering kali
tersubordinasi oleh ruang abstrak. Ruang abstrak adalah ruang dari sudut
pandang suatu subjek abstrak, seperti seorang perencana atau arsitek perkotaan.
Ruang abstrak adalah ruang yang didominasi, diduduki, dan dikendalikan ruang
otoriter sehingga menjadi ruang yang menindas. Ruang abstrak adalah alat
kekuasaan. Ruang abstrak berusaha mengendalikan dan menghegemoni setiap orang
serta segala sesuatu menurut kepentingan dan cara pandang pemegang kekuasaan.
Kehadiran IKN Nusantara di Kalimantan Timur perlu sejak
awal dipastikan agar tidak menjadi ruang yang menindas. Pembangunan IKN
Nusantara seyogianya tidak dikembangkan sebagai proses yang ditransplantasikan,
tetapi harus menjadi proses yang ditransformasikan.
Sebagai IKN yang baru, tidak seharusnya Nusantara nanti
tumbuh soliter dan tidak peka pada kepentingan dan kondisi masyarakat lokal.
Ketika banyak pihak menaruh harapan dan mendukung pembangunan IKN Nusantara,
jangan sampai kemudian yang terjadi ibu kota baru itu justru melahirkan
alienasi dan eksploitasi masyarakatnya. Bagaimana pendapat Anda?