-->

Iklan

Selasa, 21 Januari 2025, Januari 21, 2025 WIB
Last Updated 2025-01-21T14:52:05Z
Hukpol

Proyek Renovasi SMA 3 Donggo: Anggaran Fantastis, Kualitas Memprihatinkan, dan Dugaan Korupsi

Advertisement

Terlihat gedung yang sedang direnovasi dengan anggaran yang cukup fantastik tapi pekerjaanya lambat dan bermasalah, bahkan diduga anggaran diduga ditilep oleh pelaksana proyek/Tom/Joyo


Info720.com, Bima - Proyek renovasi dan pembangunan di SMA Negeri 3 Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB, menjadi sorotan tajam karena dinilai penuh kejanggalan. Dengan anggaran fantastis sebesar Rp1,8 miliar, proyek ini justru menunjukkan kualitas pengerjaan yang jauh dari standar, memunculkan dugaan kuat adanya praktik korupsi dan pengelolaan yang sembrono.

 

Proyek ini mencakup pembangunan satu gedung baru berukuran 6x5 meter dan renovasi empat lokal gedung lainnya. Meski seharusnya selesai pada Desember 2024, hingga Januari 2025 pekerjaan baru mencapai 50 persen. Pantauan di lapangan menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan: bahan material seperti kusen dan keramik tidak memenuhi standar, sementara keramik dibiarkan berserakan tanpa perlindungan di tengah lapangan olahraga, mengakibatkan kerusakan parah.


Tidak hanya itu, pemasangan plafon dan keramik dilakukan secara asal-asalan, terlihat dari hasil pekerjaan yang tidak presisi, banyak keramik pecah, dan plafon yang mulai rusak meskipun belum selesai dikerjakan. Fakta ini menegaskan bahwa proyek dikelola oleh pekerja yang tidak memiliki kompetensi profesional, tanpa pengawasan memadai dari pelaksana proyek.

 

Guru-guru SMA Negeri 3 Donggo mengungkapkan bahwa sebanyak 300 lembar seng bekas pembongkaran atap gedung hilang dan diduga dibawa pulang oleh pekerja atas perintah Ibu Nur, pelaksana proyek yang juga seorang guru di SMA Negeri 1 Hu’u. Dugaan ini diperkuat dengan ketidakhadiran Ibu Nur di lokasi proyek sejak awal pengerjaan, meninggalkan proyek berjalan tanpa pengawasan.

 

Tidak adanya papan informasi proyek sejak awal pengerjaan juga menimbulkan pertanyaan besar. Proyek senilai miliaran rupiah ini tidak transparan dalam menyampaikan informasi terkait nilai kontrak, volume pekerjaan, dan detail pelaksanaan. Kondisi ini memunculkan dugaan bahwa proyek ini adalah hasil "jual beli proyek" atau praktik korupsi oleh oknum di lingkungan Dinas Dikbud NTB.

 


Pengawasan dari pihak Dinas Dikbud NTB hanya dilakukan satu kali dalam dua bulan, itupun dengan kesan formalitas tanpa tindakan nyata untuk memperbaiki ketidakteraturan. Bahkan, oknum pengawas justru bertindak seolah-olah sebagai pelaksana proyek, seperti yang dikeluhkan oleh guru-guru di sekolah tersebut.

 

Dugaan semakin menguat bahwa proyek ini merupakan "proyek siluman" dengan tujuan menggelembungkan anggaran. Dengan hasil kerja yang jauh dari standar dan penyelesaian yang terus molor, publik mempertanyakan bagaimana anggaran Rp1,1 miliar bisa menghasilkan proyek yang kualitasnya sangat buruk.

 

Upaya media untuk mengonfirmasi Ibu Nur sebagai pelaksana proyek menemui jalan buntu. Telepon dan pesan WhatsApp tidak ditanggapi langsung oleh Ibu Nur. Bahkan, anaknya yang membalas pesan media dengan alasan bahwa Ibu Nur sedang di luar daerah. Ketika media mendatangi SMA Negeri 1 Hu’u, tempat Ibu Nur bertugas, yang bersangkutan juga tidak berada di lokasi.

 

Proyek ini menjadi potret buruk pengelolaan anggaran negara dalam sektor pendidikan. Alih-alih memberikan dampak positif bagi siswa, proyek ini justru menyisakan kekacauan dan kecurigaan. Untuk memastikan bahwa anggaran fantastis ini tidak berakhir di kantong pribadi, diperlukan investigasi mendalam dari aparat penegak hukum, LSM, dan media.

 

Publik juga diimbau untuk tidak tinggal diam. Jika pengerjaan proyek terus dilakukan tanpa memenuhi Standar Operasional Prosedur (SOP), maka masyarakat, guru, dan pihak sekolah harus berani menolak dan menghentikannya. Kasus ini menunjukkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan keberanian untuk bersuara, dana publik akan terus menjadi korban praktik korupsi yang merugikan pendidikan generasi muda.

 

Proyek ini adalah ujian nyata bagi integritas pemerintah daerah dan Dinas Dikbud NTB dalam mengelola anggaran publik. Jika dibiarkan, ini bukan hanya masalah proyek mangkrak, tetapi juga bukti nyata bahwa korupsi telah merusak fondasi pendidikan di daerah ini.(Str)