Advertisement
![]() |
Terlihat gedung yang sedang direnovasi dengan anggaran yang cukup fantastik tapi pekerjaanya lambat dan bermasalah, bahkan diduga anggaran diduga ditilep oleh pelaksana proyek/Tom/Joyo |
Info720.com, Bima - Proyek renovasi dan pembangunan di SMA Negeri 3 Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB, menjadi sorotan tajam karena dinilai penuh kejanggalan. Dengan anggaran fantastis sebesar Rp1,8 miliar, proyek ini justru menunjukkan kualitas pengerjaan yang jauh dari standar, memunculkan dugaan kuat adanya praktik korupsi dan pengelolaan yang sembrono.
Proyek ini mencakup pembangunan satu
gedung baru berukuran 6x5 meter dan renovasi empat lokal gedung lainnya. Meski
seharusnya selesai pada Desember 2024, hingga Januari 2025 pekerjaan baru
mencapai 50 persen. Pantauan di lapangan menunjukkan kondisi yang sangat
memprihatinkan: bahan material seperti kusen dan keramik tidak memenuhi
standar, sementara keramik dibiarkan berserakan tanpa perlindungan di tengah
lapangan olahraga, mengakibatkan kerusakan parah.
Tidak hanya itu, pemasangan plafon
dan keramik dilakukan secara asal-asalan, terlihat dari hasil pekerjaan yang
tidak presisi, banyak keramik pecah, dan plafon yang mulai rusak meskipun belum
selesai dikerjakan. Fakta ini menegaskan bahwa proyek dikelola oleh pekerja
yang tidak memiliki kompetensi profesional, tanpa pengawasan memadai dari
pelaksana proyek.
Guru-guru SMA Negeri 3 Donggo
mengungkapkan bahwa sebanyak 300 lembar seng bekas pembongkaran atap gedung
hilang dan diduga dibawa pulang oleh pekerja atas perintah Ibu Nur, pelaksana proyek
yang juga seorang guru di SMA Negeri 1 Hu’u. Dugaan ini diperkuat dengan
ketidakhadiran Ibu Nur di lokasi proyek sejak awal pengerjaan, meninggalkan
proyek berjalan tanpa pengawasan.
Tidak adanya papan informasi proyek
sejak awal pengerjaan juga menimbulkan pertanyaan besar. Proyek senilai
miliaran rupiah ini tidak transparan dalam menyampaikan informasi terkait nilai
kontrak, volume pekerjaan, dan detail pelaksanaan. Kondisi ini memunculkan
dugaan bahwa proyek ini adalah hasil "jual beli proyek" atau praktik
korupsi oleh oknum di lingkungan Dinas Dikbud NTB.
Pengawasan dari pihak Dinas Dikbud
NTB hanya dilakukan satu kali dalam dua bulan, itupun dengan kesan formalitas
tanpa tindakan nyata untuk memperbaiki ketidakteraturan. Bahkan, oknum pengawas
justru bertindak seolah-olah sebagai pelaksana proyek, seperti yang dikeluhkan
oleh guru-guru di sekolah tersebut.
Dugaan semakin menguat bahwa proyek
ini merupakan "proyek siluman" dengan tujuan menggelembungkan
anggaran. Dengan hasil kerja yang jauh dari standar dan penyelesaian yang terus
molor, publik mempertanyakan bagaimana anggaran Rp1,1 miliar bisa menghasilkan
proyek yang kualitasnya sangat buruk.
Upaya media untuk mengonfirmasi Ibu
Nur sebagai pelaksana proyek menemui jalan buntu. Telepon dan pesan WhatsApp
tidak ditanggapi langsung oleh Ibu Nur. Bahkan, anaknya yang membalas pesan
media dengan alasan bahwa Ibu Nur sedang di luar daerah. Ketika media
mendatangi SMA Negeri 1 Hu’u, tempat Ibu Nur bertugas, yang bersangkutan juga
tidak berada di lokasi.
Proyek ini menjadi potret buruk
pengelolaan anggaran negara dalam sektor pendidikan. Alih-alih memberikan
dampak positif bagi siswa, proyek ini justru menyisakan kekacauan dan
kecurigaan. Untuk memastikan bahwa anggaran fantastis ini tidak berakhir di
kantong pribadi, diperlukan investigasi mendalam dari aparat penegak hukum,
LSM, dan media.
Publik juga diimbau untuk tidak
tinggal diam. Jika pengerjaan proyek terus dilakukan tanpa memenuhi Standar
Operasional Prosedur (SOP), maka masyarakat, guru, dan pihak sekolah harus
berani menolak dan menghentikannya. Kasus ini menunjukkan bahwa tanpa
pengawasan yang ketat dan keberanian untuk bersuara, dana publik akan terus
menjadi korban praktik korupsi yang merugikan pendidikan generasi muda.
Proyek ini adalah ujian nyata bagi
integritas pemerintah daerah dan Dinas Dikbud NTB dalam mengelola anggaran
publik. Jika dibiarkan, ini bukan hanya masalah proyek mangkrak, tetapi juga
bukti nyata bahwa korupsi telah merusak fondasi pendidikan di daerah ini.(Str)